Pada tahun 1935, pembangunan dilanjutkan dengan Lapas Limus Bunti dan Cilacap. Terakhir, dibangun Lapas Kembang Kuining pada tahun 1950, yang memiliki kapasitas hingga 1.000 orang.
Sejak zaman penjajahan, para tahanan yang ditampung di Pulau Nusakambangan digunakan untuk bekerja di perkebunan karet. Pulau ini sebenarnya telah berpenduduk sebelum dijadikan tempat penahanan narapidana.
Masyarakat asli tersebar di berbagai wilayah di Nusakambangan seperti Jumbleng (sekarang Batu), Kembang Kunung, Lempung Pucung, Kali Wangi, Tumpeng, Brambang, Gliger, Limus, Buntu, Kauman, Gereges, dan Karang Salam.
Ada tiga kelompok masyarakat yang tinggal di Nusakambangan: masyarakat pegawai (dan keluarga), narapidana, dan masyarakat lainnya, termasuk guru SD dan petugas mercusuar.
Pada tahun 1861, Pemerintah Belanda memindahkan sebagian besar penduduk asli ke tempat lain, seperti Kampung Laut, Jojok, dan Cilacap, untuk memanfaatkan pulau ini sebagai basis pertahanan.
Baca Juga: Daftar Nama-nama Calon Sementara Anggota DPRD Kabupaten/Kota Se-Cilacap dari PKB untuk Pemilu 2024
Seluruh penduduk sipil dan militer dipindahkan ketika Nusakambangan ditetapkan sebagai pulau penahanan narapidana pada tahun 1908.
Sejak itu, Pulau Nusakambangan menjadi pulau yang angker dengan banyak eksekusi pidana mati yang dilakukan di sana. Pulau ini kemudian menjadi terisolasi, tertutup, dan sangat ketat dalam pengamanannya.
Pada tahun 1937, Nusakambangan ditetapkan sebagai daerah tertutup untuk pertambangan dan kepentingan umum. Jumlah penduduk Nusakambangan pada masa itu tidak pasti, tetapi pada tahun 1970 mencapai 7.500 orang.