Mengenal Tradisi Unik di Kampung Cilayung, Jawa Barat: Mengapa Memelihara Burung Beo Dilarang?

22 Oktober 2023, 19:05 WIB
Mengenal Tradisi Unik di Kampung Cilayung, Jawa Barat, Mengapa Memelihara Burung Beo Dilarang?/Dok. Instagram.com @burung_beo_2 /

CilacapUpdate.com - Kepercayaan dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun selalu memiliki daya tarik dan misteri tersendiri.

Salah satu cerita yang menarik perhatian kita berasal dari Kampung Cilayung, sebuah komunitas yang terletak sekitar 67 kilometer dari Bandung, Jawa Barat.

Di sini, warga setempat memiliki larangan kuno yang telah dijunjung tinggi selama berabad-abad: mereka dilarang keras untuk memelihara burung beo.

Namun, mengapa burung ini menjadi pantangan yang tak boleh dilanggar? Kita harus menyelami kisah tragis di balik larangan ini.

Kisah ini bermula dari sebuah keluarga kerajaan yang dahulu menghuni wilayah tersebut. Keluarga tersebut terperangkap dalam permainan fitnah yang melibatkan seorang burung beo.

Baca Juga: Lima Daerah Pencetak Manusia Berprestasi di Jawa Barat, Ada Bekasi di 2 Besar, No 1 Bukan Bandung?

Ambu Siti Ningrum, yang merupakan istri pertama seorang tokoh dari kerajaan kecil di wilayah yang kini dikenal sebagai Kampung Cilayung, mendapat tuduhan tidak adil.

Kabar fitnah tersebut disampaikan kepada suaminya melalui burung beo, seperti yang diungkapkan oleh seorang warga bernama Rosidah.

Ambu Siti Ningrum harus menanggung dampak serius dari fitnah ini. Suaminya, seorang raja, sangat marah setelah mendengar kabar dari burung beo tersebut.

Melihat rumah tangganya yang semakin hancur, Ambu Siti Ningrum akhirnya memutuskan untuk bersumpah bahwa dirinya tidak berselingkuh.

Tidak hanya sebatas sumpah, ia meminta suaminya untuk menyembelihnya sebagai bukti kejujurannya.

Menurut tradisi yang dijalani, jika darah yang keluar berwarna merah, itu berarti Ambu Siti Ningrum bersalah dalam perselingkuhan. Namun, jika darah yang keluar berwarna putih beras, itu adalah tanda bahwa tuduhan tersebut salah.

Baca Juga: 5 Pantai Terbaik Indramayu Jawa Barat Favorit Wisatawan, No 2 Miliki Pasir Putih Khas Pantura

Momen penyembelihan menjadi penentu nasib Ambu Siti Ningrum. Ketika ia disembelih, darah yang mengalir ternyata berwarna putih beras, menandakan bahwa ia tidak bersalah.

Namun, itu tidak menghentikan tragedi ini. Meskipun terbukti tidak bersalah, para leluhur di kampung ini memutuskan untuk melarang keturunan mereka memelihara burung beo.

Mereka percaya bahwa burung ini adalah pembawa petaka, dan sejak saat itu, burung beo menjadi pantangan yang suci dan tak boleh dilanggar di kampung tersebut.

"Jika ada warga yang memiliki burung beo, umurnya tidak akan panjang," ungkap Rosidah, yang menggambarkan konsekuensi tragis bagi pemilik burung beo yang berani melanggar pantangan ini. Meskipun terdengar seperti mitos, pantangan ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Cilayung.

Namun, larangan memelihara burung beo bukan satu-satunya aturan yang diberlakukan di kampung ini.

Kaum wanita di kampung ini juga dilarang untuk memiliki rambut yang panjang. Jika rambut seorang wanita sudah mencapai panjang tertentu, harus dipotong sebagai tanda penghormatan kepada Ambu Siti Ningrum yang konon memiliki rambut panjang semasa hidupnya.

Kisah di balik pantangan rambut panjang ini bermula dari pengalaman pahit Ambu Siti Ningrum sendiri.

Suatu hari, ketika tengah berjemur untuk mengeringkan rambutnya, seekor kuda tak sengaja membelit rambutnya.

Insiden itu traumatik bagi Ambu Siti Ningrum, sehingga sejak saat itu, dia memutuskan untuk tidak lagi memiliki rambut yang panjang.

Baca Juga: 5 Desa Tersepi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat: Mana Lebih Sepi Antara Nagreg dan Rancabali?

Ketika kita memandang tradisi dan kepercayaan seperti ini, sebagian dari kita mungkin merasa heran atau bahkan skeptis.

Namun, penting untuk diingat bahwa tradisi ini telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di Kampung Cilayung selama berabad-abad. Ini adalah cerminan kuat dari kekayaan budaya dan sejarah yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Selain itu, kisah ini juga mengingatkan kita tentang betapa kuatnya kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh berbagai masyarakat di seluruh Indonesia.

Terkadang, kepercayaan turun-temurun seperti larangan memelihara burung beo dan pantangan terhadap rambut panjang memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan budaya mereka.

Pantangan-pantangan ini juga memungkinkan kita untuk merenungkan bagaimana sejarah dan cerita-cerita lama dapat membentuk norma dan nilai-nilai yang masih berpengaruh dalam masyarakat modern.

Meskipun mungkin terasa aneh bagi beberapa orang, bagi penduduk Cilayung, ini adalah bagian integral dari identitas mereka.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa nilai-nilai dan tradisi seperti ini juga membentuk jati diri masyarakat, mengingatkan mereka akan kisah-kisah lama yang menarik dan mengajarkan pelajaran moral yang berharga.

Baca Juga: Bendungan Super Menakjubkan di Jabar Senilai Rp2 Triliun: Transformasi Masyarakat dan Industri Jawa Barat

Pantangan-pantangan ini mengingatkan masyarakat setempat untuk menghormati sejarah dan menghargai nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Jadi, meskipun bagi beberapa orang larangan memelihara burung beo dan pantangan rambut panjang mungkin tampak aneh atau tidak relevan, mereka adalah bagian penting dari warisan budaya dan sejarah masyarakat Cilayung.

Ini adalah cerminan dari kuatnya ikatan budaya dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dan mungkin, dalam memahami cerita-cerita seperti ini, kita bisa lebih memahami dan menghargai keragaman budaya Indonesia yang kaya.***

Editor: Achmad Ade Salim Kurniawan

Terkini

Terpopuler