Kenapa di usia Remaja Lebih Suka Main Games daripada Belajar, begini penjelasan Psikolog

- 5 Januari 2022, 10:27 WIB
Ilustrasi :Gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja merupakan hal wajar
Ilustrasi :Gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja merupakan hal wajar /Allkpop



CilacapUpdate.com - Gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja tidak perlu disikapi berlebihan oleh orang tua.

Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi. Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia menjelaskan, ada alasan di balik gejolak emosi pada remaja.

Pendapat Vera menyebutkan, bagian otak prefrontal cortex belum berfungsi secara optimal saat usia remaja, sehingga tidak mengherankan apabila perilaku dan keputusan yang mereka lakukan lebih banyak dipengaruhi emosi.

“Bagian inilah (prefrontal cortex) yang membantu kita untuk mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir tingkat tinggi yang eksekutif dan memikirkan efek jangka panjang,” ungkap Vera saat diskusi virtual bersama media dikutip dari ANTARA Rabu.

Baca Juga: Masih Jerawatan di usia 30-an dan 40-an, Menurut Ahli inilah Penyebabnya

Baca Juga: Ketahui Bahaya Lemak Perut bagi Tubuh dan Penampilan, Berikut Tips Mudah, Murah dari Pakar

Fungsi prefrontal cortex, Vera menambahkan, baru berkembang secara optimal ketika seseorang menginjak usia 20 hingga 25 tahun.

Dia menyebutkan contoh kasus yang biasanya banyak dialami remaja, yakni bermain game online.

Alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar, mereka lebih gemar menghabiskan waktu untuk bermain game.

Pada usia remaja, mereka kesulitan mengontrol atau menahan diri untuk tidak terus-menerus bermain game karena lebih banyak dipengaruhi emosi.

Baca Juga: Miliki Banyak Manfaat Bagi Kesehatan, Aromaterapi bisa membantu Badan kembali segar

“Main game itu asik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Terus bandingkan dengan belajar, nah itu berat banget,” terang Vera.

Untuk melakukan transisi dari kecanduan bermain game hingga anak memiliki kesadaran untuk belajar, Vera menjelaskan, harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi oleh orang tua.

“Jadi yang kita (orang tua) tekankan pada anak adalah, ‘Yuk, kamu pasti bisa mengendalikan keinginan kamu untuk main game," kata dia.

"Sebenarnya dengan mengalahkan (keinginan) itu saja, dia sudah berjuang supaya prefrontal cortex-nya bisa berfungsi lebih optimal,” dia menegaskan.

Baca Juga: Kemanjuran Kayu Manis, Bermanfaat Mengendalikan Gula Darah hingga Kurangi Resiko Obesitas

Contoh lain yang disebutkan Vera adalah biasanya remaja juga mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah.

Ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, maka tak heran apabila remaja jelang usia 20 tahun terkadang merasa salah mengambil jurusan.

“Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri, atau kerjanya gampang, atau ada idolanya di situ, jadi emosi yang bermain. Atau keinginan orang tuanya yang masuk ke sana,” ujar dia.

Dalam kasus seperti itu, peran orang tua dan pendidik yang secara tidak langsung “menjadi penjaga” fungsi prefrontal cortex pada remaja cukup signifikan.

Baca Juga: Minum Vitamin Tidak Boleh Sembarangan, Berikut Tips untuk yang Sering Lembur dan Kurang Tidur

Untuk mengoptimalkan fungsi otak ini, orang tua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat mereka memilih jurusan tertentu.

“Jadi kita yang rem. ‘Oke, kita bahas pilihan jurusannya ada apa saja, ‘Kenapa kamu mau jurusan ini’, ‘Ke depannya apa yang bisa kamu tekuni lagi’, ‘Kamu tertarik tidak untuk ambil ke sana’, dan seterusnya. Itu dibahas satu-satu,” Vera menjelaskan.

Saat menjalankan proses diskusi, Vera menegaskan bahwa orang tua juga perlu menjaga kesabaran diri sendiri sebab pengambilan keputusan pada remaja memang membutuhkan waktu yang panjang.

Baca Juga: Sudah Vaksin kedua dan ketiga diyakini mampu Bentengi dari Gejala Varian Omicron

“Banyak orang tua yang mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini karena umur kita sudah lebih tua secara angka, jadi sudah lebih tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau tidak sabar, orang tua malah jadi short cut, ‘Sudah kamu ambil yang ini saja’, padahal belum tentu sesuai dengan hati sang anak,” tutup dia. ***

Editor: Muhammad Nasrulloh

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah