Beliau sampaikan bahwasanya beliau adalah seorang hamba yang punya tuan. Dan tuannya memerintahkan untuk melakukan berbagai macam amal di bulan Ramadhan. Memerintahkannya untuk berpuasa dan amal yang lainnya.
Setelah tugas tersebut dilaksanakan, beliau tidak tahu secara pasti apakah amalannya diterima ataukah tidak. Karena belum ada kepastian itulah yang menyebabkan beliau tidak bisa menikmati dan tidak bisa mengisi hari tersebut dengan sukacita dan gembira.
Ulama itu sedih karena tidak tahu bagaimanakah amal yang telah dikerjakan selama Ramadhan kemarin. Apakah menjadi amal yang diterima ataupun tidak?
Maka nasihat atau perkataan satu ulama Salaf ini satu hal yang patut untuk kita renungkan. Kita dituntunkan untuk bergembira pada hari raya Idul Fitri, jangan bersedih. Namun di satu sisi selayaknya satu hal yang juga kita perhatikan, kita jalan terlalu larut dengan gembira.
Ada satu hal yang lebih urgent, apakah amal kita selama Ramadhan itu ada nilainya untuk kita persembahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah itu akan memperberat amal kebajikan kita di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah dia akan menambah tabungan amal kita untuk menghadapNya ataukah tidak?
Itu satu hal yang patut direnungkan agar kita tidak terlalu euforia dengan datangnya Idul Fitri. Kita tidak terlalu gembira berlebih-lebihan ketika datangnya hari raya dan lupa dengan tugas pokok seorang hamba.
Maka demikianlah yang bisa kami sampaikan, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan untuk kita bersama.***