CilacapUpdate.com - Di tanah Jawa, raja memegang peranan krusial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, raja dianggap setara dewa. Namun, raja juga memiliki kewajiban mengayomi rakyatnya.
B.J.O. Schrieke, dalam bukunya "Studi Historis-Sosiologis Masyarakat Indonesia: Penguasa dan Kerajaan Jawa Masa Awal", menjelaskan bahwa kekuasaan seorang raja tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kedewataan yang melekat padanya. Jika raja tidak memiliki nilai-nilai tersebut, rakyat percaya bahwa dunia akan berakhir dan bencana akan terjadi.
Meski demikian, rakyat Jawa tidak serta-merta memberontak ketika raja menunjukkan perilaku buruk. Biasanya, rakyat akan terlebih dahulu menyampaikan kritik kepada rajanya. Kritik tersebut kemudian akan dipertimbangkan oleh raja dalam membuat kebijakan baru.
Namun, kritik dapat berubah menjadi api revolusi ketika raja mengkhianati rakyatnya dengan menerapkan kebijakan represif, seperti penangkapan, penghancuran, atau pembantaian. Pada situasi seperti ini, kadang terdapat penguasa lain yang memanfaatkan kekacauan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Kritik Rakyat dan Tanggapan Raja Jawa
Kritik rakyat terhadap Raja Jawa dapat ditelusuri melalui prasasti yang disebut jayapātra. Prasasti ini berisi urusan hukum perdata, seperti utang-piutang, perpajakan, kewarganegaraan, dan pertanahan. Salah satu prasasti yang menggambarkan kritik rakyat adalah Prasasti Palepangan (828 Śaka/ 906 Masehi).
Baca Juga: Perjalanan Hidup Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Hingga Menjadi Bupati Kontroversial
Prasasti ini menceritakan tentang kebijakan penetapan pajak di Desa Palepangan oleh Raja Daksottama Bāhubajra dari Kerajaan Mataram Kuno. Rakyat Palepangan merasa keberatan dengan pajak yang ditetapkan, sehingga mereka menghadap raja dan meminta peninjauan ulang. Raja kemudian mengirim juru ukur tanah dan menemukan bahwa pengukuran sebelumnya tidak akurat. Akibatnya, pajak di Desa Palepangan diturunkan.
Contoh lain terdapat dalam Prasasti Wurudu Kidul (844 Ś/ 922 M). Prasasti ini menceritakan tentang Sang Dhanadi, warga Desa Wurudu Kidul yang dikenai pajak kilalan (orang asing) padahal ia adalah warga negara Jawa. Dhanadi mengadukan hal ini kepada pejabat daerah, dan akhirnya ia diberikan surat jayapātra sebagai bukti bahwa ia adalah warga asli Jawa.
Ketika Raja Membantah Kritik Rakyat
Namun, tidak semua raja Jawa bersikap ramah terhadap kritik rakyat. Ada pula raja-raja yang menolak kritik dan memaksakan kehendak mereka. Salah satu contoh adalah Raja Kêrtajaya dari Kerajaan Kādiri.
Kêrtajaya memerintahkan para pendita aliran Hindu Śaiwa dan Buddha untuk menyembahnya. Perintah ini mendapat penolakan dari para agamawan yang menganggapnya telah melakukan penistaan agama. Kêrtajaya murka dan menggunakan kekuatan sihir untuk meyakinkan para agamawan bahwa ia adalah dewa yang berhak disembah.
Contoh lain adalah Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Awalnya, Wijaya adalah raja yang dicintai rakyatnya. Namun, setelah ia naik takhta, ia mulai menunjukkan sifat angkuh dan mengkhianati janji-janjinya. Ia sering mengeluarkan kebijakan yang tidak memuaskan rakyat, bahkan memberontak rekan-rekannya sendiri.
Sikap Wijaya yang ingkar janji dan provokasi dari Mahapati menyebabkan ketidakstabilan politik di Majapahit. Bahkan, negara ini hampir runtuh pada masa kepemimpinan anak Wijaya.***