CilacapUpdate.com - Jauh sebelum Indonesia merdeka, wilayah Nusantara telah dihiasi oleh kerajaan-kerajaan besar dengan ibu kota yang megah. Lebih dari sekadar pusat pemerintahan, ibu kota kerajaan kuno di Nusantara adalah cerminan perpaduan antara keyakinan kosmologis, strategi geopolitik, dan kepiawaian teknologi masa lampau.
Konsep Mandala yang dianut oleh masyarakat Asia Tenggara kuno menempatkan ibu kota sebagai pusat jagat (axis mundi) yang memancarkan kekuatan magis. Tak heran, pemilihan lokasi ibu kota tak hanya mempertimbangkan faktor-faktor praktis seperti aksesibilitas dan sumber daya alam, tetapi juga sarat dengan simbolisme dan nilai-nilai spiritual.
Pembangunan ibu kota kerajaan di Nusantara kuno melibatkan perencanaan yang matang dan pengetahuan tata kelola lahan yang mengagumkan. Para cendekiawan dan ahli di bidangnya dilibatkan untuk memastikan ibu kota yang dibangun tidak hanya fungsional tetapi juga mencerminkan kebesaran dan keagungan kerajaan.
Sriwijaya: Mengarungi Sungai Menuju Pusat Kekuatan
Salah satu contoh menarik pembangunan ibu kota kerajaan di Nusantara kuno tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Perjalanan panjang yang dilakukan oleh Dapunta Hyang bersama rombongannya dari Minanga menuju “Mukha Upang”, lokasi yang diyakini sebagai cikal bakal ibu kota Sriwijaya, bukan sekadar perjalanan migrasi biasa. Perjalanan tersebut sarat makna spiritual, sebuah laku ziarah (siddhayatra) untuk memohon restu dan keselamatan bagi kerajaan yang akan didirikan.
Namun, di balik nilai sakral tersebut, tersirat pula kecermatan Dapunta Hyang dalam memilih lokasi strategis untuk ibu kotanya. Kawasan yang berada di pertemuan Sungai Ogan dan Musi memberikan Sriwijaya kendali atas jalur perdagangan dan pelayaran penting di Selat Malaka.
Baca Juga: Sebelum Kertas Ada, Ada Timah: Ini Kisah Peradaban Kuno di Sumatera yang Jarang Diketahui
Lokasi ibu kota Sriwijaya yang dekat dengan Bukit Siguntang semakin menegaskan perpaduan antara nilai strategis dan spiritual. Bukit Siguntang yang menjulang tinggi diyakini sebagai representasi Gunung Mahameru, tempat tinggal para dewa dalam mitologi Hindu-Buddha.
Pakuan Pajajaran: Ketika Sang Planolog Merancang Ibu Kota
Beralih ke tanah Jawa Barat, pembangunan ibu kota Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran, menunjukkan peran sentral para ahli dalam perencanaan tata kota di masa lampau.
Raja Tarusbawa mempercayakan pembangunan ibu kotanya kepada Bujangga Sedamanah, seorang tokoh yang digambarkan memiliki pengetahuan mendalam tentang tata kelola lahan. Bujangga Sedamanah dengan cermat melakukan survei untuk menemukan lokasi yang tepat, sebagaimana tertuang dalam manuskrip kuno Sunda, Fragmen Carita Parahyangan.
Kriteria pemilihan lokasi ibu kota Pakuan Pajajaran menunjukkan pemahaman masyarakat Sunda kuno tentang pentingnya harmoni antara manusia dan alam. Kriteria ngalingga manik (tanah tinggi di sekitar sungai), sri madayung (tanah dialiri dua aliran sungai), dan talaga kahudanan (tanah yang dibelah oleh sungai) mencerminkan upaya untuk menciptakan kota yang subur, aman, dan terhindar dari bencana.
Tantangan dan Keterbatasan
Kendati dirancang dengan matang, bukan berarti ibu kota kerajaan kuno di Nusantara terbebas dari masalah. Bencana alam, keterbatasan teknologi, dan faktor-faktor lain kerap menjadi tantangan tersendiri.
Ibu kota Majapahit di Trowulan, misalnya, harus berhadapan dengan ancaman banjir lahar dingin Gunung Welirang. Material bangunan yang terbuat dari tanah liat semakin menambah kerentanan ibu kota Majapahit terhadap bencana.
Kendati demikian, masyarakat Nusantara kuno juga menunjukkan kepiawaian dalam mengatasi keterbatasan. Kesultanan Banten, misalnya, berhasil mengatasi kesulitan air bersih dengan membangun bendungan dan sistem penyaringan air canggih di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pelajaran dari Masa Lampau
Pembangunan ibu kota kerajaan kuno di Nusantara mengajarkan kita tentang pentingnya visi yang holistik, memadukan nilai-nilai spiritual, strategi geopolitik, dan kepiawaian teknologi.
Kisah-kisah Sriwijaya, Pakuan Pajajaran, dan kerajaan lainnya menjadi pengingat bahwa setiap pilihan lokasi memiliki konsekuensi dan tantangan tersendiri. Kecermatan dalam perencanaan, menghormati alam, dan adaptif terhadap perubahan adalah kunci keberlanjutan sebuah peradaban.
Di era modern ini, ketika Indonesia bersiap membangun ibu kota baru di Kalimantan, sudah sepatutnya kita belajar dari kearifan lokal masa lampau. Memadukan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kearifan lokal akan melahirkan ibu kota yang bukan saja megah, tetapi juga berkelanjutan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.***