CilacapUpdate.com - Abad ke-10 Masehi menjadi saksi bisu atas pergeseran kekuatan di Pulau Jawa. Dinasti Sailendra, penguasa Jawa Tengah yang telah berdiri kokoh selama tiga abad, runtuh. Misteri menyelimuti masa akhir pemerintahan Raja Dyah Wawa, penguasa terakhir dinasti tersebut.
Di tengah ketidakjelasan tersebut, muncullah Sindok, seorang tokoh misterius yang memproklamirkan diri sebagai penguasa baru. Berbeda dengan pendahulunya, Sindok memilih Jawa Timur sebagai pusat pemerintahannya. Ia juga mengganti nama dinasti menjadi Iśana, sebuah perubahan yang menandai babak baru dalam sejarah Jawa.
Perdebatan Seputar Perpindahan Pusat Kekuasaan
Hingga saat ini, alasan di balik perpindahan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur masih menjadi perdebatan. Beberapa teori dikemukakan, mulai dari letusan Gunung Merapi yang dahsyat hingga beban ekonomi akibat pembangunan candi yang berlebihan. Namun, bukti-bukti yang mendukung teori-teori ini masih belum cukup kuat.
Misteri semakin pelik karena minimnya sumber teks dari masa pemerintahan Sindok yang membahas tentang perpindahan ini. Sumber-sumber yang ada hanya memberikan sedikit petunjuk, meninggalkan celah bagi berbagai interpretasi dan spekulasi.
Airlangga: Sang Penerus Takhta dan Titisan Dewa Wisnu
Seabad setelah Sindok, Jawa kembali menghadapi ujian. Kali ini, bencana yang melanda jauh lebih besar, hingga disebut sebagai pralaya atau kiamat. Di tengah kekacauan itu, muncullah Airlangga, seorang raja dengan garis keturunan Bali dan Jawa, yang ditakdirkan untuk memimpin.
Airlangga bukanlah orang biasa. Ia adalah putra Raja Udayana dari Bali dan cucu Raja Dharmawangsa Têguh dari Jawa. Pernikahan politik antara kedua kerajaan ini membawa Airlangga ke pusaran perebutan kekuasaan di Jawa.
Pada hari pernikahannya dengan putri Dharmawangsa Têguh, istana diserang oleh pemberontak. Airlangga berhasil lolos dari maut dan menjalani kehidupan sebagai pertapa selama beberapa tahun. Selama masa pengasingan, ia menggalang kekuatan, terutama dari kalangan agamawan Śaiwa dan Buddhis.
Baca Juga: Masa Tua Nggak Perlu Khawatir! Begini Cara Cek dan Kelola Saldo Jaminan Pensiun
Dengan dukungan para pemuka agama dan rakyat yang mendambakan pemimpin kuat, Airlangga naik takhta pada tahun 1019 Masehi. Ia memproklamirkan diri sebagai titisan Dewa Wisnu, Sang Pelindung Dunia, yang turun untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Kebijakan Kontroversial dan Akhir Pemerintahan yang Anti-Klimaks
Airlangga dikenal sebagai raja yang cakap dan bijaksana. Ia membangun sistem birokrasi yang efektif, memajukan perekonomian, dan menciptakan stabilitas sosial. Salah satu kebijakannya yang terkenal adalah politik balas budi, di mana para pendukungnya diberikan tanah perdikan sebagai bentuk penghargaan.
Namun, di balik citra sebagai raja ideal, terdapat sisi lain dari Airlangga yang jarang diungkap. Ia adalah pemimpin yang otoriter dan kerap menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Pemberontakan ditumpas dengan tangan besi, dan musuh-musuhnya dihancurkan tanpa ampun.
Gaya kepemimpinan Airlangga yang keras ini pada akhirnya menjadi bumerang. Konflik internal dan pemberontakan terus terjadi, menggerogoti kewibawaannya. Di akhir masa pemerintahannya, Airlangga terpaksa membagi kerajaan menjadi dua untuk meredam perebutan takhta di antara putra-putrinya.
Airlangga: Antara Pujian dan Kritik
Airlangga adalah sosok yang kompleks dan penuh kontradiksi. Di satu sisi, ia adalah pemimpin visioner yang membawa Jawa keluar dari masa-masa kelam. Di sisi lain, ia adalah penguasa yang kejam dan haus kekuasaan.
Meskipun banyak pujian dilayangkan kepadanya, Airlangga juga tak luput dari kritik. Kebijakannya yang represif dan intrik politik di akhir masa pemerintahannya mencoreng citranya sebagai Raja Pembaharu Jawa. Kendati demikian, warisan Airlangga tetap abadi dalam ingatan masyarakat Jawa, sebagai pengingat akan kompleksitas dan dinamika perjalanan sejarah.***